(0)



Bisnis.com, JAKARTA - Kebutuhan untuk memilki rumah tinggal bagi kaum milenial bisa jadi tidak hanya dalam konsep kepemilikan rumah pribadi.

Tren generasi milenial yang tidak lagi menginginkan untuk memiliki rumah dan tanah, serta penghasilan sebagian besar generasi ini yang tidak memungkinkan membeli rumah di tengah kota, memerlukan solusi baru yang lebih relevan.

Konsep co-living yang sudah lama dianut kota-kota besar di luar negeri dinilai bisa menjadi alternatif solusi tempat tinggal untuk para profesional muda.

Pengamat urban living Sabrina Soewatdy menjelaskan, menurut RisetKarir.com 83 persen milenial memiliki penghasilan rata-rata sebesar 7,5 juta rupiah per bulan. Penghasilan tersebut tidak mencukupi untuk membeli rumah di ibu kota. Selain itu, 17 persen milenial hanya mampu membeli rumah bekas pakai dengan harga sekitar 300 juta rupiah.

Sabrina menambahkan bahwa gaya hidup dan pengeluaran besar para millennial juga berperan mengurangi kemampuan mereka membeli properti.

“Salah satu solusi yang ditawarkan saat ini adalah dengan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan downpayment 15 persen. Namun untuk membayar DP ini, milenial tetap harus menabung tahunan,” kata Sabrina yang juga co-founder Rukita, startup yang bergerak di bidang manajemen properti.

Konsep co-living menurut Sabrina memungkinkan para milenial dan profesional muda untuk bersama menyewa sebuah rumah di bawah manajemen suatu perusahaan.

"Konsep ini bukanlah konsep baru, banyak kota besar di dunia yang mulai menyediakan property co-living untuk para milenial dan profesional muda yang tidak ingin, atau tidak mampu, membeli rumah sendiri," ujar Sabrina dalam pernyataan tertulis, diterima Jumat (6/9/2019).

“Tempat tinggal yang baik tidak hanya memberi kenyamanan bagi para penghuninya, namun juga membantu meningkatkan kesehatan mental para milenial,” jelas Sabrina.

Sabrina menambahkan, kepemilikan properti makin lama makin tidak relevan bagi sebagian besar milenial. Hal itu dibuktikan dengan meningkatnya penjualan apartemen dan menurunnya penjualan rumah, bahkan dengan penurunan luas apartemen sebesar rata-rata 26 persen.

"Mereka juga sudah jarang saling berkunjung ke rumah, dan lebih memilih untuk bertemu di tempat umum seperti mall dan kafe. Mereka lebih mementingkan koneksi internet yang cepat,” tutup Sabrina.


Sumber : ekonomi.bisnis.com


Baca Artikel Terkait
Berita Terkini | 3 Agustus 2020
BTN Sebut Permintaan Rumah Masih Tinggi
Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah pandemi Covid-19, permintaan kebutuhan perumahan tetap ada karena fungsi rumah saat ini bukan hanya sebagai tempat tinggal belaka.Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (BTN) Pahala N. Mansury mengatakan pengaruh pandemi Covid-19 ini berdampak pada menurunnya tingkat pertumbuhan ekonomi nasional."Jumlah dari masyarakat yang terinfeksi terus meningkat,Baca Selengkapnya
Berita Terkini | 3 Agustus 2020
Sektor Perumahan Diyakini Dongkrak Pemulihan Ekonomi Nasional
Bisnis.com, JAKARTAKolaborasi berbagai entitas keuangan dan perumahan diyakini dapat mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional (PEN). Hal ini seiring dengan potensi dan daya ungkit dari dua sektor tersebut sangat besar terhadap perekonomian nasional.Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan program PEN merupakan bagian dari kebijakan luar biasa yang ditempuh pemerintah untuk memitigasi dampakBaca Selengkapnya
Berita Terkini | 27 Juli 2020
SMF Revisi Target Penyaluran Pinjaman 30 Persen
JAKARTA, KOMPAS.com - PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF akan merevisi target penyaluran pinjaman sekitar 30 persen dari total RKAP 2020 senilai Rp 13,035 triliun. Direktur Utama SMF Ananta Wiyogo mengungkapkan hal tersebut saat menjawab pertanyaan Kompas.com, dalam konferensi pers virtual, Senin (27/7/2020). "Kami masih dalam proses, dan angka pastinya masih dibicarakan denganBaca Selengkapnya