(0)



Seiring dengan perkiraan bahwa harga-harga akan kembali meningkat dua bulan setelah Lebaran, inflasi kembali meningkat sebesar 0,13% mom di bulan September 2017 setelah terjadi deflasi sebesar -0,07% mom di bulan Agustus 2017. Seperti tampak pada grafik 1, semua sektor mengalami kenaikan harga kecuali sektor Bahan Makanan yang masih mengalami penurunan harga sebesar 0,53% mom.

Grafik 1. Inflasi Bulanan September 2016 dan 2017 Berdasarkan Kelompok (% mom)



Sumber: BPS

Pada dasarnya pola inflasi bulanan September 2017 sama dengan September 2016, dengan perbedaan magnitude pada sektor Bahan Makanan, Sandang, dan Pendidikan. Harga beras dan cabai merah sebenarnya sudah meningkat, namun masih turunnya harga bumbu-bumbuan mendorong ke bawah harga-harga sektor Makanan sehingga mengalami deflasi yang lebih besar daripada bulan September 2016.

Kenaikan harga di sektor Sandang terutama didorong oleh naiknya harga emas perhiasan. Sementara pengeluaran rumah tangga untuk biaya sekolah dari tingkat SD sampai dengan Kuliah menjadi pendorong utama kenaikan harga di sektor Pendidikan

Grafik 2. Kontribusi Penyumbang Inflasi Bulan September 2017


 Sumber: BPS

Jika dilihat dari jenis inflasi, terlihat bahwa Inflasi Volatile (yang dipengaruhi harga makanan) yang menahan kenaikan Inflasi Inti dan Inflasi Administered sehingga Inflasi Umum hanya meningkat sebesar 0,13% mom di September 2017. Akibatnya Inflasi Umum September 2017 lebih rendah dari bulan yang sama tahun 2016 sebesar 0,22% mom (grafik 3).

Grafik 3. Tingkat Inflasi September 2015-2017 (% mom)


 Sumber: BPS

Dengan inflasi bulanan sebesar itu, maka inflasi tahunan kembali terdorong turun menjadi 3,72% yoy (grafik 4). Ini merupakan penurunan lanjutan dari inflasi tahunan setelah mencapai titik tertingginya sepanjang tahun 2017 sebesar 4,37% yoy di bulan Juni 2017 akibat kenaikan harga sepanjang hari raya keagamaan.

Grafik 4. Perkembangan Inflasi Bulanan dan Tahunan


 Sumber: BPS

Inflasi Inti relatif stabil pada level terendahnya sejak Desember 2015 dan bertahan pada level 3,00% yoy pada bulan September 2017. Dapat dikatakan bahwa daya beli masyarakat (real demand) baru sedikit rebound setelah mencapai level terendahnya di 2,98% yoy pada bulan Agustus 2017.

Grafik 5 sedikit banyak mengkorfirmasi dikuranginya konsumsi masyarakat untuk keperluan yang tidak dianggap terlalu penting di tengah turunnya pendapatan riil mereka. Setelah bertahan di kisaran 5,0% yoy sepanjang tahun 2015, kenaikan harga sub sektor Peralatan Rumah Tangga terus mengalami penurunan sampai ke level 1,8% yoy di bulan September 2017.  Hal yang sama juga terjadi pada sub sektor Rekreasi yang mengalami penurunan harga dari 4,0% yoy di awal 2015 dan turun menjadi 0,4% yoy di akhir 2016. 

Namun memasuki tahun 2017, kenaikan harganya rebound dan terus meningkat menjadi 1,4% yoy di bulan September 2017. Dapat dikatakan bahwa di tengah turunnya pendapatan riilnya, masyarakat mempertahankan konsumsi Bahan Makanan dan Rekreasi, dengan mengurangi pengeluaran yang tidak terlalu penting seperti Peralatan Rumah Tangga.

Grafik 5. Inflasi Tahunan Sub Sektor Rekreasi dan Peralatan Rumah Tangga


 Sumber: BPS

Grafik 6. Inflasi Inti dan Suku Bunga Acuan BI


 Sumber: Bank Indonesia & BPS

Grafik 7. Pergerakan Rupiah dan Indeks US Dollar



 Sumber: Bloomberg

Grafik 6 menunjukkan perkembangan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) dan nilai riilnya berdasarkan Inflasi Inti. Perlu diketahui bahwa kebijakan suku bunga BI diambil berdasarkan Infasi Inti, bukan Inflasi Umum. Terlihat bahwa suku bunga acuan BI riil justru naik menjadi 3,63% di bulan Januari 2016 ketika BI menurunkan suku bunga acuannya menjadi 7,25%. Namun se telah itu suku bunga acuan BI riil terus mengalami penurunan seiring dengan turunnya Inflasi Inti dan akhirnya mencapai level 1,25%, yang merupakan level terendahnya sejak November 2012.

Dengan suku bunga acuan riil yang semakin menipis tentunya semakin sempit ruang bagi BI untuk dapat terus menurunkan suku bunga acuannya. Apalagi bisa melihat kondisi ekonomi global yang kembali bergejolak sebagai akibat ekspektasi membaiknya ekonomi Amerika Serikat (AS). Gejolak tersebut dapat dilihat dari pergerakan Rupiah yang pada Grafik 7 disandingkan dengan pergerakan Indeks US Dollar. 

Terlihat bahwa pergerakan Rupiah seiring dengan Indeks USD dari awal tahun 2015 sampai dengan akhir tahun 2016. Memasuki tahun 2017, ketika Indeks USD mengalami pelemahan yang seharusnya diikuti dengan penguatan Rupiah, ternyata Rupiah bergerak stabil pada level Rp13.332 per USD untuk periode Januari-September.

Rupiah sempat menguat ke Rp13.156 per USD pada minggu pertama September 2017, namun kemudian melemah seiring dengan menguatnya US Dollar. Di akhir bulan September 2017, US Dollar mendapatkan momentum penguatan dari hasil pertemuan the Fed yang menegaskan akan kembali menaikkan suku bunga acuannya pada bulan Desember 2017 dan pengumuman Tax Plan dari President Donald Trump.  Akibatnya Rupiah melemah dah menembus level Rp13.500 per USD. Tren penguatan US Dollar tampaknya akan terus berlanjut seiring dengan semakin tingginya ekspektasi perbaikan ekonomi AS.

Karena itulah maka kami melihat bahwa faktor global akan kembali menjadi pertimbangan BI dalam mengambil kebijakan moneter, khususnya kebijakan suku bunga, dalam bulan-bulan mendatang. Sehingga kami perkirakan bahwa suku bunga acuan BI sudah mencapai level terendah pada 4,25% untuk kemudian dipertahankan pada level ini sampai dengan semester 1 tahun 2018. Upaya mendorong pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi nasional dapat dilakukan BI melalui kebijakan non suku bunga seperti kebijakan LTV spasial yang dalam waktu dekat akan diumumkan.

Oleh:

Winang Budoyo
Chief Economist bank BTN


Baca Artikel Terkait
Makro Update | 13 April 2022
Kebijakan Moneter Maret 2022 - Bank Indonesia Mempertahankan Suku Bunga Acuan, di Tengah Kenaikan Suku Bunga Acuan the Fed
 Dalam FOMC Meeting bulan Maret 2022, The Fed mulai menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps menjadi kisaran 0,25%-0,50%, sementara Bank Indonesia masih mempertahankan suku bunga acuan sebesar 3,50% yang sudah berlaku sejak Februari 2021.   The Federal Reserves (The Fed) memulai kebijakan yang pro stability Seperti sudah diperkirakan sebelumnya, dalam Federal Open Market Committee (FOMC) Meeting tanggal 16-17Baca Selengkapnya
Makro Update | 13 April 2022
Kebijakan Moneter Februari 2022 - Bank Indonesia Kembali Mempertahankan Suku Bunga Acuan
Bank Indonesia kembali memutuskan untuk tetap mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebesar 3,50%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25% pada Rapat Dewan Gubernur yang berlangsung tanggal 9-10 Februari 2022. Bank Indonesia telah mempertahankan suku bunga acuan pada level 3,50% selama 1 tahun sejak bulan Februari 2021.  Bank IndonesiaBaca Selengkapnya
Makro Update | 13 April 2022
Kebijakan Moneter Januari 2022 - Bank Indonesia Kembali Mempertahankan Suku Bunga Acuan
Bank Indonesia kembali memutuskan untuk tetap mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebesar 3,50%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25% pada Rapat Dewan Gubernur yang berlangsung tanggal 19-20 Januari 2022. Bank Indonesia telah mempertahankan suku bunga acuan pada level 3,50% sejak bulan Februari 2021.   Rapat Dewan Gubernur (RDG) BIBaca Selengkapnya