(0)



Bisnis.com, JAKARTA - Pengetahuan masyarakat Jabodetabek akan hak dan kewajibannya sebagai konsumen ketika memutuskan untuk membeli produk properti.

Hal tersebut tentunya akan meminimalisasi terjadinya pelanggaran atau wanprestasi oleh pengembang yang akan merugikan mereka di kemudian hari.

Pakar Hukum Pertanahan sekaligus CEO and Managing Partner Leks&Co Eddy M. Leks menilai masyarakat yang tinggal di wilayah Jabodetabek saat ini makin cerdas sebelum memutuskan untuk membeli produk properti.

Mereka umumnya sudah memahami haknya sebagai konsumen yang harus dipenuhi oleh pengembang. Demikian halnya dengan kewajiban yang harus mereka penuhi kepada pengembang maupun pihak terkait lainnya.

“Mungkin jika bicara 10 tahun lalu, banyak yang lebih cuek dan kurang hati-hati, tapi makin kesini, umumnya lebih hati-hati dan lebih paham,” katanya kepada Bisnis belum lama ini.

Menurut Eddy, selama ini berbagai permasalahan yang timbul dalam proses jual beli properti, khususnya hunian terjadi lantaran misinformasi. Pengembang tidak memberikan informasi produk yang ditawarkan kepada konsumen secara detail.

Konsumen pun acapkali tak memiliki inisiatif untuk mencari tahu produk properti yang akan mereka beli. Baik dari pengembang itu sendiri maupun dari konsumen lain yang sudah lebih dahulu berurusan dengan pengembang tersebut.

“Berbagai permasalahan itu timbul karena kombinasi hal, seperti kurang paham, kurang hati-hati atau kritis dalam memahami dokumen-dokumen yang ditandatangani,” ungkapnya.

Adapun, terkait dengan upaya perlindungan konsumen properti Eddy menilai pemerintah pusat maupun daerah sudah melakukannya dengan baik. Dimulai dari penerbitan UU No. 1/2011 tentang Perumahan beserta sejumlah peraturan turunannya seperti Peraturan Menteri PUPR No. 11/2019 tentang PPJB (Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah).

Selain itu, setahun sebelumnya juga diterbitkan Peraturan Menteri PUPR No. 23 tentang Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) untuk melindungi pemilik rumah susun atau apartemen yang rawan menjadi korban pelanggaran hukum pengembang.

“Khusus untuk PPPSRS kemudian diatur lebih lanjut oleh Pemda DKI Jakarta. Aturan-aturan tersebut sebetulnya semakin memperkuat posisi dan hak-hak konsumen di dalam transaksi dan penghunian di suatu rumah susun,” tuturnya.

Kemudian ketika konsumen menjadi korban dari pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pengembang hal pertama yang harus dilakukan adalah memeriksa kembali surat pesanan atau konfirmasi beserta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Pasalnya, hak-hak konsumen yang harus dipenuhi oleh pengembang diatur dalam dokumen tersebut.

“Upaya hukum perlu memperhatikan ketentuan tentang penyelesaian sengketa di dalam kedua dokumen tersebut, apakah ke pengadilan atau arbitrase, atau bisa jadi perlu melalui mediasi terlebih dulu. Hal yang sama juga dengan bank, yaitu berdasarkan ikatan hukum yang ada antara konsumen dan bank tersebut, seperti perjanjian hutang, dan lain-lain,” tutupnya.

Sementara itu, Executive Director Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan sebelum membeli produk properti konsumen properti perlu memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan kelengkapan dokumen.

Selain mengenali jenis sertifikat yang diberikan bangunan yang dibeli, hal yang juga perlu diperhatikan adalah sertifikat induk dan izin mendirikan bangunan (IMB) yang dimiliki oleh pengembang.

Karena acapkali ditemukan pengembang, terutama yang berskala kecil atau baru terjun ke bisnis properti menggampangkan hal tersebut. Oleh karena itu, rekam jejak dari pengembang menjadi penting dan patut dipertimbangkan juga.

“Developer itu nggak segampang ya dipikirkan. Ada perusahaan atau perorangan yang punya lahan dan modal tiba-tiba jadi developer menggampangkan akhirnya gagal karena nggak paham properti. Maka dari itu, jangan sembarangan [pilih],” jelasnya.

Kemudian yang juga perlu diperhatikan adalah nama yang tercantum pada sertifikat induk atau satuan unit. Sebisa mungkin hindari properti yang masih menggunakan nama perorangan atau perusahaan pihak ketiga pada sertifikat tersebut.

“Ini perlu hati-hati karena biasanya ada yang nama perorangan juga. Kalau mau lebih aman atas nama perusahaan atau developer yang bersangkutan. Karena banyak itu biasanya developer kecil yang pakai nama pribadi. Hilang ya sudah nggak tahu bagaimana,” jelasnya.


Sumber : ekonomi.bisnis.com


Baca Artikel Terkait
Berita Terkini | 8 April 2022
Kembangkan Ekosistem Perumahan Digital, Bank BTN Gandeng Arsitag
Bank BTN terus mengembangkan layanan di ranah ekosistem perumahan digital (digital mortgage ecosystem) dengan menggandeng berbagi start-up yang fokus pada ekosistem perumahan. Salah satunya menjalin kerjasama dengan platform Arsitag yang merupakan marketplace jasa layanan profesional arsitektur, desain interior dan kontraktor. Direktur Operation, IT and Digital Banking Bank BTN, Andi Nirwoto mengatakan, kerjasama yang dijalin perseroan denganBaca Selengkapnya
Berita Terkini | 4 April 2022
BTN Apresiasi Pengembang Loyal
NUSA DUA-PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) siap memberikan kemudahan proses kredit bagi para pengembang yang mempunyai track record baik. Kemudahan tidak hanya dalam bentuk pemberian suku bunga khusus tetapi juga aturan-aturan terkait proses kredit akan direlaksasi.“Kemudahan yang diberikan Bank BTN ini diharapkan akan memotivasi para developer yang berkategoriBaca Selengkapnya
Berita Terkini | 24 Agustus 2020
Dana FLPP 2020 Sudah Disalurkan Rp8,54 Triliun untuk 84.080 Rumah
Bisnis.com, JAKARTA – Dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) tahun ini hingga Rabu (19/8/2020) telah disalurkan sebesar Rp8,54 triliun untuk 84.080 unit rumah.Direktur Utama Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Arief Sabaruddin mengatakan total penyaluran dana FLPP dari 2010 hingga 2020 mencapai Rp52,91 triliun untuk hunian sebanyak 739.682 unit.Dana FLPPBaca Selengkapnya